Pudarnya Pesona Cleopatra - Karya Habiburrahman El Shirazy
Ini salah
satu cerita yang ngebuat gue mengucurkan air mata. Ngebuat gue jadi kepengen
jadi cewe seperti raihana. Semoga kita bisa mengambil hikmah dari cerita ini
aamiin.
* * *
Dengan
panjang lebar ibu menjelaskan, sebenarnya sejak ada dalam kandungan aku telah
dijodohkan dengan Raihana yang tak pernah kukenal.
”Ibunya
Raihana adalah teman karib ibu waktu nyantri di pesantren Mangkuyudan, Solo
dulu,” kata ibu.
“Kami
pernah berjanji, jika dikarunia anak berlainan jenis akan besanan untuk
memperteguh tali persaudaraan. Karena itu ibu mohon keikhlasanmu,” ucap beliau
dengan nada mengiba.
Dalam
pergulatan jiwa yang sulit berhari-hari, akhirnya aku pasrah. Aku menuruti
keinginan ibu. Aku tak mau mengecewakan ibu. Aku ingin menjadi mentari pagi
dihatinya, meskipun untuk itu aku harus mengorbankan diriku. Dengan hati pahit
kuserahkan semuanya bulat-bulat pada ibu. Meskipun sesungguhnya dalam hatiku
timbul kecemasan-kecemasan yang datang begitu saja dan tidak tahu alasannya.
Yang jelas aku sudah punya kriteria dan impian tersendiri untuk calon istriku.
Aku tidak bisa berbuat apa-apa berhadapan dengan air mata ibu yang amat
kucintai. Saat khitbah (lamaran) sekilas kutatap wajah Raihana, benar kata Aida
adikku, ia memang baby face dan anggun. Namun garis-garis kecantikan yang
kuinginkan tak kutemukan sama sekali. Adik ibuku, tante Lia, mengakui Raihana
cantik.
“Cantiknya
alami, bisa jadi bintang iklan Lux, lho…! Asli!” kata tante Lia.
Tapi
penilaianku lain, mungkin karena aku begitu hanyut dengan gadis-gadis Mesir
titisan Cleopatra yang tinggi semampai, wajahnya putih jelita, dengan hidung
melengkung indah, mata bulat bening khas arab, dan bibir yang merah. Di
hari-hari menjelang pernikahanku, aku berusaha menumbuhkan bibit-bibit cintaku
untuk calon istriku, tetapi usahaku selalu sia-sia. Aku ingin memberontak pada
ibuku, tetapi wajah teduhnya meluluhkanku. Hari pernikahan pun datang. Duduk
dipelaminan bagai mayat hidup, hati hampa tanpa cinta.
Pesta
meriah dengan empat group rebana. Lantunan shalawat Nabi pun terasa
menusuk-nusuk hati. Kulihat Raihana tersenyum manis, tetapi hatiku terasa
teriris-iris dan jiwaku meronta. Satu-satunya harapanku adalah mendapat berkah
dari Allah SWT atas baktiku pada ibuku yang kucintai. Rabbighfir li wa
liwalidayya!
Layaknya
pengantin baru, kupaksakan untuk mesra, tapi bukan cinta, hanya sekadar karena
aku seorang manusia yang terbiasa membaca ayat-ayat-Nya. Raihana tersenyum
mengembang, hatiku menangisi kebohonganku dan kepura-puraanku.
Tepat
dua bulan Raihana kubawa ke kontrakan di pinggir Kota Malang. Mulailah
kehidupan hampa. Aku tak menemukan adanya gairah. Betapa susah hidup
berkeluarga tanpa cinta. Makan, minum, tidur, dan shalat bersama dengan makhluk
yang bernama Raihana, istriku, tapi masyaallah, bibit cintaku belum juga
tumbuh. Suaranya yang lembut terasa hambar, wajahnya yang teduh tetap terasa
asing.
Memasuki
bulan keempat, rasa muak hidup bersama Raihana mulai kurasakan, rasa ini muncul
begitu saja. Aku mencoba membuang jauh-jauh rasa tidak baik ini, apalagi pada
istri sendiri yang seharusnya kusayang dan kucintai. Sikapku pada Raihana mulai
lain. Aku lebih banyak diam, acuh tak acuh, agak sinis, dan tidur pun lebih
banyak di ruang tamu atau pun di ruang kerja.
Aku
merasa hidupku adalah sia-sia, belajar di luar negeri sia-sia, pernikahanku
sia-sia, keberadaanku sia-sia. Tidak hanya aku yang tersiksa, Raihana pun
merasakan hal yang sama. Karena ia orang yang berpendidikan, maka diapun tanya,
tetapi kujawab, ”Tidak apa-apa, kok mbak. Mungkin aku belum dewasa. Mungkin
masih harus belajar berumah tangga.”
Ada
kekagetan yang kutangkap di wajah Raihana ketika kupanggil ‘mbak’.
”Kenapa
mas memanggilku mbak? Aku kan istrimu. Apa mas sudah tidak mencintaiku?”
tanyanya dengan guratan wajah yang sedih.
“Wallahu
a’lam” jawabku sekenanya.
Dengan
mata berkaca-kaca, Raihana diam menunduk. Tak lama kemudian, dia terisak-isak
sambil memeluk kakiku.
“Kalau
mas tidak mencintaiku, tidak menerimaku sebagai istri, kenapa mas ucapkan akad
nikah? Kalau dalam tingkahku melayani mas masih ada yang kurang berkenan,
kenapa mas tidak bilang dan menegurnya? Kenapa mas diam saja? Aku harus
bersikap bagaimana untuk membahagiakan mas? Kumohon bukalah sedikit hatimu
untuk menjadi ruang bagi pengabdianku, bagi menyempurnakan ibadahku di dunia
ini!”
Raihana
mengiba penuh pasrah. Aku menangis menitikan air mata buka karena Raihana
tetapi karena kepatunganku. Hari terus berjalan, tetapi komunikasi kami tidak
berjalan. Kami hidup seperti orang asing, tetapi Raihana tetap melayaniku
menyiapkan segalanya untukku. Suatu sore aku pulang mengajar dan kehujanan,
sampai di rumah sehabis maghrib, bibirku pucat, perutku belum kemasukkan
apa-apa, kecuali segelas kopi buatan Rihana tadi pagi. Memang aku berangkat pagi
karena ada janji dengan teman. Raihana memandangiku dengan khawatir.
“Mas
tidak apa-apa?” tanyanya dengan perasaan kuatir.
“Mas
mandi dengan air panas saja, aku sedang menggodoknya. Lima menit lagi
mendidih.” lanjutnya.
Aku
melepas semua pakaian yang basah.
“Mas
airnya sudah siap,” kata Raihana.
Aku
tak bicara sepatah kata pun, aku langsung ke kamar mandi, aku lupa membawa
handuk, tetapi Raihana telah berdiri didepan pintu membawa handuk.
“Mas,
aku buatkan wedang jahe.”
Aku
diam saja. Aku merasa mulas dan mual dalam perutku tak bisa kutahan. Dengan
cepat aku berlari ke kamar mandi. Raihana mengejarku dan memijit-mijit pundak
dan tengkukku seperti yang dilakukan ibu.
”Mas
masuk angin. Biasanya kalau masuk angin diobati pakai apa? Pakai balsam? Minyak
putih? Atau jamu?” Tanya Raihana sambil menuntunku ke kamar.
“Mas
jangan diam saja, dong! Aku kan tidak tahu yang harus kulakukan untuk membantu
Mas.”
”Biasanya
dikerokin,” jawabku lirih.
”Kalau
begitu, kaos mas dilepas, ya, biar Hana kerokin,” sahut Raihana sambil
tangannya melepas kaosku.
Aku
seperti anak kecil yang dimanja ibunya. Raihana dengan sabar mengeroki
punggungku dengan sentuhan tangannya yang halus. Setelah selesai dikerokin,
Raihana membawakanku semangkok bubur kacang hijau. Setelah itu aku merebahkan
diri di tempat tidur. Kulihat Raihana duduk di kursi tak jauh dari tempat tidur
sambil menghafal Al Quran dengan khusyu. Aku kembali bersedih dan ingin
menangis. Raihana yang manis, tapi tak semanis gadis-gadis Mesir titisan
Cleopatra. Dalam tidur, aku bermimpi bertemu dengan Cleopatra, ia mengundangku
untuk makan malam di istananya.
”Aku
punya keponakan, namanya Mona Zaki. Nanti akan aku perkenalkan denganmu. Dia
memintaku untuk mencarikan seorang pangeran. Aku melihatmu cocok dan aku
berniat memperkenalkannya denganmu,” kata Ratu Cleopatra.
Aku
mempersiapkan segalanya. Tepat pukul 07.00 aku datang ke istana, kulihat Mona
Zaki dengan pakaian pengantinnya, cantik sekali. Sang ratu mempersilakan aku
duduk di kursi yang berhias berlian. Aku melangkah maju. Namun belum sempat
duduk, tiba-tiba
”Mas,
bangun! Sudah jam setengah empat, mas belum sholat Isya,” kata Raihana
membangunkanku.
Aku terbangun dengan perasaan
kecewa.
”Maafkan
aku yang membuat Mas kurang suka, tetapi Mas belum sholat Isya!” lirih Hana
sambil melepas mukenanya yang mungkin dia baru selesai sholat malam.
Meskipun
hanya mimpi, tapi itu indah sekali. Sayang sekali terputus. Aku jadi semakin
tidak menyukainya. Dialah pemutus harapan dan mimpi-mimpiku. Tapi apakah dia
bersalah? Bukankah dia berbuat baik membangunkanku untuk sholat Isya?
Selanjutnya
aku merasa sulit hidup bersama Raihana. Aku tidak tahu asal sulitnya. Rasa
tidak sukaku semakin menjadi-jadi. Aku benar-benar terpenjara dalam suasana
konyol. Aku belum bisa menyukai Raihana. Aku sendiri belum pernah jatuh cinta.
Entah, mengapa aku bisa dijajah pesona gadis-gadis titisan Cleopatra?
”Mas,
nanti sore ada acara qiqah di rumah Yu Imah. Semua keluarga akan datang
termasuk ibundamu. Kita diundang juga. Yuk, kita datang bareng, tidak enak
kalau kita yang dielu-elukan keluarga tidak datang,” suara lembut Raihana
menyadarkan pengembaraanku pada Zaman Ibnu Hazm.
Pelan-pelan
ia letakkan nampan yang berisi onde-onde kesukaanku dan segelas wedang jahe.
Tangannya yang halus agak gemetar. Aku dingin-dingin saja.
”Maaf,
maaf jika mengganggu Mas. Maafkan Hana!” lirihnya, lalu perlahan-lahan beranjak
meninggalkan aku di ruang kerja.
”Mbak!
Eh, maaf, maksudku D… Din… Dinda Hana!” panggilku dengan suara parau tercekak
dalam tenggorokan.
”Ya,
Mas!” sahut Hana langsung menghentikan langkahnya dan pelan-pelan menghadapkan
dirinya padaku.
Ia
berusaha untuk tersenyum, agaknya ia bahagia dipanggil “dinda”. Matanya sedikit
berbinar.
“Te…
terima kasih, Di… Dinda. Kita berangkat bareng ke sana, habis sholat dhuhur,
insyaallah,” ucapku sambil menatap wajah Hana dengan senyum yang kupaksakan.
Raihana
menatapku dengan wajah sangat cerah. Ada secercah senyum bersinar di bibirnya.
”Terima
kasih, Mas. Ibu kita pasti senang. Mau pakai baju yang mana, Mas? Biar dinda
siapkan. Atau biar dinda saja yang memilihkannya?”.
Hana
begitu bahagia. Perempuan berjilbab ini memang luar biasa. Ia tetap sabar
mencurahkan bakti meskipun aku dingin dan acuh tak acuh padanya selama ini. Aku
belum pernah melihatnya memasang wajah masam atau tidak suka padaku. Kalau
wajah sedihnya, iya. Tapi wajah tidak sukanya belum pernah.
“Bah,
lelaki macam apa aku ini?” kutukku pada diriku sendiri. Aku memakimaki diriku
sendiri atas sikap dinginku selama ini. Tapi, setetes embun cinta yang
kuharapkan membasahi hatiku tak juga turun. Kecantikan aura titisan Cleopatra
itu, bagaimana aku mengusirnya? Aku merasa menjadi orang yang paling membenci
diriku sendiri di dunia ini.
Acara
pengajian dan qiqah putra ketiga Fatimah, kakak sulung Raihana, membawa sejarah
baru lembaran pernikahan kami. Benar dugaan Raihana, kami dielu-elukan
keluarga, disambut hangat, penuh cinta, dan penuh bangga.
“Selamat
datang, pengantin baru! Selamat datang pasangan yang paling ideal dalam
keluarga!” sambut Yu Imah yang disambut tepuk tangan bahagia mertua dan
bundaku, serta kerabat yang lain.
Wajah
Raihana cerah. Matanya berbinar-binar bahagia. Lain dengan aku, dalam hatiku
menangis disebut pasangan ideal. Apanya yang ideal. Apa karena aku lulusan
Mesir dan Raihana lulusan terbaik di kampusnya dan hafal Al Quran, lantas
disebut ideal? Ideal bagiku adalah seperti Ibnu Hazm dan istrinya, saling
memiliki rasa cinta yang sampai pada pengorbanan satu sama lain. Rasa cinta
yang tidak lagi memungkinkan adanya pengkhianatan. Rasa cinta yang dari detik
ke detik meneteskan rasa bahagia. Tapi diriku? Aku belum bisa memiliki cinta seperti
yang dimiliki Rihana.
Sambutan
sanak saudara pada kami benar-benar hangat. Aku dibuat kaget oleh sikap Raihana
yang begitu kuat menjaga kewibawaanku di mata keluarga. Pada ibuku dan semuanya
tidak pernah diceritakan, kecuali menyanjung kebaikanku sebagai seorang suami
yang dicintainya. Bahkan ia mengaku bangga dan bahagia menjadi istriku. Aku
sendiri dibuat pusing dengan sikapku. Lebih pusing lagi sikap ibuku dan
mertuaku yang menyindir tentang keturunan.
”Sudah
satu tahun putra sulungku menikah, kok belum ada tanda-tandanya, ya? Padahal,
aku ingin sekali menimang cucu” kata ibuku.
“ Insyaallah,
tak lama lagi ibu akan menimang cucu. Doakanlah kami! Bukankah begitu, Mas?”
sahut Raihana sambil menyikut lenganku.
Aku
tergagap dan mengangguk sekenanya. Setelah peristiwa itu, aku mencoba bersikap
bersahabat dengan Raihana. Aku berpura-pura kembali mesra dengannya, sebagai
suami betulan. Jujur, aku hanya pura-pura. Sebab bukan atas dasar cinta, dan
bukan kehendakku sendiri aku melakukannya, ini semua demi ibuku.
Allah
Maha Kuasa. Dalam kepura-puraanku memuliakan Raihana sebagai seorang istri,
Raihana hamil. Ia semakin manis. Keluarga bersuka cita semua. Namun hatiku
menangis karena cinta tak kunjung tiba.
“Tuhan
kasihanilah hamba! Datangkanlah cinta itu segera!”
Sejak
itu, aku semakin sedih sehingga Raihana yang sedang hamil tidak kuperhatikan
lagi. Setiap saat nuraniku bertanya, ”Mana tanggung jawabmu?” Aku hanya diam
dan mendesah sedih.
”Entahlah,
betapa sulit aku menemukan cinta,” gumamku.
Dan
akhirnya datanglah hari itu, usia kehamilan Raihana memasuki bulan ke enam.
Raihana minta izin untuk tinggal bersama orang tuanya dengan alasan kesehatan.
Kukabulkan permintaanya dan kuantarkan dia kerumahnya. Karena rumah mertua jauh
dari kampus tempat aku mengajar, mertuaku tak menaruh curiga ketika aku harus
tetap tinggal di kontrakan.
Ketika
aku pamitan, Raihana berpesan, ”Mas untuk menambah biaya kelahiran anak kita,
tolong nanti cairkan tabunganku yang ada di ATM. Aku taruh dibawah bantal,
no.pinnya sama dengan tanggal pernikahan kita”.
Setelah
Raihana tinggal bersama ibunya, aku sedikit lega. Setiap hari Aku tidak bertemu
dengan orang yang membuatku tidak nyaman. Entah apa sebabnya bisa demikian.
Hanya, aku sedikit repot karena harus menyiapkan segalanya sendiri. Tapi, toh
bukan masalah bagiku karena aku sudah terbiasa saat kuliah di Mesir.
Waktu
terus berjalan, dan aku merasa enjoy tanpa Raihana. Suatu saat aku pulang kehujanan.
Sampai rumah hari sudah petang, aku merasa tubuhku benar-benar lemas. Aku
muntah-muntah, menggigil, kepala pusing dan perut mual. Saat itu terlintas di
hati, andaikan ada Raihana, dia pasti telah menyiapkan air panas, bubur kacang
hijau, membantu mengobati masuk angin dengan mengeroki punggungku, lalu
menyuruhku istirahat dan menutupi tubuhku dengan selimut. Malam itu aku
benar-benar tersiksa dan menderita.
Aku
terbangun pukul enam pagi. Badan sudah segar. Tapi ada penyesalan dalam hati,
aku belum sholat Isya dan terlambat sholat subuh. Baru sedikit terasa, andaikan
ada Raihana tentu aku ngak meninggalkan sholat Isya, dan tidak terlambat sholat
subuh.
Lintasan
Raihana hilang seiring keberangkatan mengajar di kampus. Apalagi aku mendapat
tugas dari universitas untuk mengikuti pelatihan mutu dosen mata kuliah bahasa
arab. Di antaranya, tutornya adalah professor bahasa Arab dari Mesir. Aku jadi
banyak berbincang dengan beliau tentang Mesir.
Dalam
pelatihan, aku juga berkenalan dengan Pak Qalyubi, seorang dosen bahasa Arab
dari Medan. Dia menempuh S-1-nya di Mesir. Dia menceritakan satu pengalaman
hidup yang menurutnya pahit dan terlanjur dijalani.
“Apakah
kamu sudah menikah?” kata Pak Qalyubi.
“Alhamdulillah,
sudah” jawabku.
”Dengan
orang mana?”
“Orang
Jawa.”
”Pasti
orang yang baik. Iya, kan? Biasanya, pulang dari Mesir banyak saudara yang
menawarkan untuk menikah dengan perempuan shalehah. Paling tidak santriwati
lulusan pesantren. Istrimu dari pesantren?”
“Pernah,
alhamdulillah dia sarjana dan hafal Al Quran.”
”Kau
sangat beruntung, tidak sepertiku.”
“Kenapa
dengan Bapak?”
”Aku
melakukan langkah yang salah. Seandainya aku tidak menikah dengan orang Mesir
itu, tentu batinku tidak merana seperti sekarang.”
”Bagaimana itu bisa terjadi?”
“Kamu
tentu tahu kalau gadis Mesir itu cantik-cantik, kan? Dan karena terpesona
dengan kecantikanya, aku menderita seperti ini. Ceritanya begini, aku seorang
anak tunggal dari seorang yang kaya. Aku berangkat ke Mesir dengan biaya orang
tua. Di sana, aku bersama kakak kelas yang namanya Fadhil, orang Medan juga.
Seiring
dengan berjalannya waktu, tahun pertama saya lulus dengan predikat jayyid,
predikat yang cukup sulit bagi pelajar dari Indonesia. Demikian juga dengan
tahun kedua. Karena prestasiku, tuan rumah tempatku tinggal menyukaiku. Aku
dikenalkan dengan anak gadisnya yang bernama Yasmin. Dia tidak pakai jilbab.
Pada pandangan pertama, aku jatuh cinta. Aku belum pernah melihat gadis
secantik itu. Aku bersumpah tidak akan menikah dengan siapa pun kecuali dia.
Ternyata,
perasaanku tidak bertepuk sebelah tangan. Kisah cintaku pun akhirnya didengar
Fadhil. Ia membuat garis tegas untuk mengakhiri hubungan dengan anak tuan rumah
itu, atau sekalian lanjutkan dengan menikahinya. Aku memilih yang kedua.
Ketika
aku akan menikahi Yasmin, banyak teman yang memberi masukan begini, menikah
dengan gadis Mesir, mengapa tidak mencari mahasiswi Al Azhar yang hafal Al
Quran, salehah, dan berjilbab? Itu lebih selamat daripada dengan Yasmin yang
awam pengetahuan agamanya. Tetapi aku tetap teguh untuk menikahinya. Dengan
biaya yang tinggi, aku berhasil menikahi Yasmin. Yasmin menuntut diberi sesuatu
yang lebih dari gadis Mesir. Perabot rumah yang mewah, menginap di hotel
berbintang.
Begitu
selesai S-1, aku kembali ke Medan. Aku minta agar aset yang di Mesir dijual
untuk modal di Indonesia. Kami langsung membeli rumah yang cukup mewah di kota
Medan. Tahun-tahun pertama hidup kami berjalan baik, setiap tahunnya Yasmin
mengajak ke Mesir menengok orang tuanya. Aku masih bisa memenuhi semua yang
diinginkan Yasmin. Hidup terus berjalan, biaya hidup semakin bertambah.
Anak
kami yang ketiga lahir, tetapi pemasukan tidak bertambah. Aku minta Yasmin
untuk berhemat. Tidak setiap tahun pulang ke Mesir, tetapi tiga tahun sekali.
Namun, Yasmin tidak mau. Akhirnya, aku mati-matian berbisnis demi memenuhi
keinginan Yasmin dan anak-anak. Sawah terakhir milik Ayah kujual untuk modal.
Dalam
diriku mulai muncul penyesalan. Setiap kali, aku melihat teman-teman alumnus
Mesir yang hidup dengan tenang dan damai dengan istrinya, bisa mengamalkan ilmu
dan bisa berdakwah dengan baik, dicintai masyarakat. Sementara, aku tidak
mendapatkan yang mereka dapatkan.
Kalau
aku mau rendang, aku harus ke warung. Yasmin tidak mau tahu dengan masakan
Indonesia. Kau tahu sendiri, gadis Mesir biasanya memanggil suaminya dengan
namanya. Jika ada sedikit letupan, maka rumah seperti neraka.
Puncak
penderitaanku dimulai setahun yang lalu. Usahaku bangkrut. Aku minta Yasmin
untuk menjual perhiasannya, tetapi dia tidak mau. Dia malah membandingkan
dirinya yang hidup serba kurang dengan sepupunya yang mendapat suami orang
Mesir.
Aku
menyesal meletakkan kecantikan diatas segalanya. Aku telah diperbudak dengan
kecantikannya. Mengetahui keadaanku yang terjepit, ayah dan ibuku mengalah. Mereka
menjual rumah dan tanah yang mengakibatkan mereka harus tinggal di ruko yang
kecil dan sempit.
Batinku
menangis. Mereka berharap modal itu cukup untuk merintis bisnisku yang
bangkrut. Bisnisku mulai bangkit, Yasmin mulai berulah, dia mengajak ke Mesir.
Waktu di Mesir itulah puncak tragedi yang menyakitkan.
‘Aku
menyesal menikah dengan orang Indonesia, aku minta kauceraikan aku, aku tidak
bisa bahagia kecuali dengan lelaki Mesir,’ Kata Yasmin bagaikan geledek
menyambar. Lalu tanpa dosa, dia bercerita bahwa tadi di KBRI dia bertemu dengan
temannya. Teman lamanya itu sudah jadi bisnisman, dan istrinya sudah meninggal.
Yasmin diajak makan siang, dan dilanjutkan dengan perselingkuhan. Aku pukul dia
karena tak bisa menahan diri. Atas tindakan itu, aku dilaporkan ke polisi. Yang
menyakitkan, tak satu pun keluarganya yang membelaku.
Rupanya,
selama ini Yasmin sering mengirim surat yang berisi berita bohong. Sejak saat
itu, aku mengalami depresi. Dua bulan yang lalu aku mendapat surat cerai dari
Mesir sekaligus mendapat salinan surat nikah Yasmin dengan temannya. Hatiku
sangat sakit ketika si sulung mengigau meminta ibunya pulang.”
Cerita
Pak Qulyubi membuatku terisak-isak. Perjalanan hidupnya menyadarkanku. Aku
teringat Raihana. Perlahan wajahnya terbayang dimataku. Tak terasa, sudah dua
bulan aku berpisah dengannya. Tiba-tiba, ada kerinduan yang menyelinap di hati.
Dia istri yang sangat shalehah. Tidak pernah meminta apa pun. Bahkan, yang
keluar adalah pengabdian dan pengorbanan. Hanya karena kemurahan Allah, aku
mendapatkan istri seperti dia. Meskipun hatiku belum terbuka lebar, tetapi
wajah Raihana telah menyala di dindingnya. Apa yang sedang dilakukan Raihana
sekarang? Bagaimana kandungannya? Sudah delapan bulan. Sebentar lagi
melahirkan. Aku jadi teringat pesannya. Dia ingin agar aku mencairkan
tabungannya.
Pulang
dari pelatihan, aku menyempatkan ke toko baju muslim. Aku ingin membelinya
untuk Raihana. Aku juga membeli daster dan pakaian bayi. Aku ingin memberikan
kejutan agar dia tersenyum menyambut kedatanganku.
Aku
tidak langsung ke rumah mertua, tetapi ke kontrakan untuk mengambil kartu ATM
yang disimpan dibawah bantal. Dibawah kasur itu, kutemukan kertas Merah jambu.
Hatiku berdesir, darahku terkesiap. Surat cinta siapa ini? Rasanya aku belum
pernah membuat surat cinta untuk istriku. Jangan-jangan ini surat cinta istriku
dengan lelaki lain. Gila! Jangan-jangan istriku serong. Dengan rasa takut
kubaca surat itu satu persatu. Dan ya Rabbi, ternyata surat-surat itu adalah
ungkapan hati Raihana yang selama ini aku zhalimi. Ia menulis, betapa ia
mati-matian mencintaiku, meredam rindunya akan belaianku. Ia menguatkan diri
untuk menahan nestapa dan derita yang luar biasa. Hanya Allah lah tempat ia
meratap melabuhkan dukanya. Bahkan, ya Allah, ia tetap setia memanjatkan doa
untuk kebaikan suaminya. Dan betapa dia ingin hadirnya cinta sejati dariku.
“Rabbi
dengan penuh kesyukuran, hamba bersimpuh di hadapan-Mu. Lakal hamdu, ya Rabb.
Telah muliakan hamba dengan Al Quran. Kalaulah bukan karena karunia-Mu yang
agung ini, niscaya hamba sudah terperosok ke dalam jurang kenistaan. Ya Rabbi,
curahkan tambahan kesabaran dalam diri hamba!” tulis Raihana.
Dalam
akhir tulisannya Raihana berdoa, ”Ya Allah, inilah hamba-Mu yang kerdil penuh
noda dan dosa kembali datang mengetuk pintumu, melabuhkan derita jiwa ini ke
hadirat-Mu. Ya Allah sudah tujuh bulan ini hamba-Mu ini hamil penuh derita dan
kepayahan. Namun, mengapa begitu tega suami hamba tak memedulikan, bahkan
menelantarkan hamba. Masih kurang apa rasa cinta hamba padanya? Masih kurang
apa kesetiaanku padanya? Masih kurang apa baktiku padanya? Ya Allah, jika
memang masih ada yang kurang, ilhamkanlah pada hamba-Mu ini cara berakhlak yang
lebih mulia lagi pada suami. Ya Allah, dengan rahmat-Mu, hamba mohon jangan
murkai dia karena kelalaiannya. Cukup hamba saja yang menderita. Maafkanlah
dia! Dengan penuh cinta, hamba masih tetap menyayanginya. Ya Allah, berilah
hamba kekuatan untuk tetap berbakti dan memuliakannya. Ya Allah, Engkau
Mahatahu bahwa hamba sangat mencintainya karena-Mu. Sampaikanlah rasa cinta ini
kepadanya dengan cara-Mu. Tegurlah dia dengan teguran-Mu. Ya Allah dengarkanlah
doa hamba-Mu ini! Tiada Tuhan yang layak disembah kecuali Engkau, Maha Suci
Engkau.”
Tak
terasa, air mataku mengalir. Dadaku terasa sesak oleh rasa haru yang luar
biasa. Tangisku meledak. Dalam tangisku, semua kebaikan Raihana terbayang.
Wajahnya yang baby face dan teduh, pengorbanan dan pengabdiannya yang tiada
putusnya, suaranya yang lembut, tanganya yang halus bersimpuh memeluk kakiku,
semuanya terbayang mengalirkan perasaan haru dan cinta. Dalam keharuan terasa
ada angin sejuk yang turun dari langit dan merasuk dalam jiwaku. Seketika itu
pesona Cleopatra telah memudar, berganti cinta Raihana yang datang di hati.
Rasa sayang dan cinta pada Raihan tiba-tiba begitu kuat mengakar dalam hatiku.
Cahaya Raihana terus berkilat-kilat di mata. Aku tiba-tiba begitu
merindukannya. Segera kukejar waktu untuk membagi cintaku dengan Raihana.
Kukebut kendaraanku. Kupacu kencang seiring dengan air mataku yang menetes
sepanjang jalan.
Begitu
sampai di halaman rumah mertua, nyaris tangisku meledak. Namun, kutahan dengan
napas panjang dan kuusap air mataku. Melihat kedatanganku, ibu mertuaku
memelukku dan menangis tersedu- sedu. Aku jadi heran dan ikut menangis.
”Mana
Raihana, Bu?”
Ibu
mertua hanya menangis dan menangis. Aku terus bertanya apa sebenarnya yang
telah terjadi.
”Raihana…
istrimu... istrimu dan anakmu yang dikandungnya…”
”Ada
apa dengan dia?”
”Dia
telah tiada.”
”Ibu
berkata apa?”
”Istrimu
telah meninggal seminggu yang lalu. Dia terjatuh di kamar mandi. Kami
membawanya ke rumah sakit. Dia dan bayinya tidak selamat. Sebelum meninggal,
dia berpesan untuk memintakan maaf atas segala kekurangan dan kekhilafannya
selama menyertaimu. Dia meminta maaf karena tidak bisa membuatmu bahagia. Dia
meminta maaf telah dengan tidak sengaja membuatmu menderita. Dia minta kau
meridhionya.”
Hatiku
bergetar hebat.
”Mengapa
ibu tidak memberi kabar padaku?”
“Ketika Raihana dibawa ke rumah sakit, aku telah mengutus seseorang untuk menjemputmu di rumah kontrakan, tapi kamu tidak ada. Dihubungi ke kampus, katanya kamu sedang mengikuti pelatihan. Kami tidak ingin mengganggumu. Apalagi Raihana berpesan agar kami tidak mengganggu ketenanganmu selama pelatihan. Dan ketika Raihana meninggal kami sangat sedih. Jadi, Maafkanlah kami!”
“Ketika Raihana dibawa ke rumah sakit, aku telah mengutus seseorang untuk menjemputmu di rumah kontrakan, tapi kamu tidak ada. Dihubungi ke kampus, katanya kamu sedang mengikuti pelatihan. Kami tidak ingin mengganggumu. Apalagi Raihana berpesan agar kami tidak mengganggu ketenanganmu selama pelatihan. Dan ketika Raihana meninggal kami sangat sedih. Jadi, Maafkanlah kami!”
Aku
menangis tersedu-sedu. Hatiku pilu. Jiwaku remuk. Ketika aku merasakan cinta
Raihana, dia telah tiada. Ketika aku ingin menebus dosaku, dia telah
meninggalkanku. Ketika aku ingin memuliakannya, dia telah tiada. Dia telah
meninggalkanku tanpa memberi kesempatan padaku untuk sekadar minta maaf dan
tersenyum padanya. Tuhan telah menghukumku dengan penyesalan dan perasaan
bersalah tiada terkira. Ibu mertua mengajakku ke sebuah gundukan tanah yang
masih baru perkuburan di pinggir desa. Di atas gundukan itu ada dua buah batu
nisan. Nama dan hari wafat Raihana tertulis di sana. Aku tak kuat menahan rasa
cinta, haru, rindu dan penyesalan yang luar biasa. Aku ingin Raihana hidup
kembali. Dunia tiba-tiba gelap semua.
Komentar
Posting Komentar